Visitor

Sponsor

Sponsor


ShoutMix chat widget

Sponsor

Hebatnya Pertempuran Saipan

Pernah nonton film Windtalkers ? di film yang dibintangi oleh Nicholas Cage itu kita bisa melihat dahsyatnya pertempuran di pulau Saipan. Di pertempuran ini dari 67.451 pasukan Amerika yang diturunkan, yang mati 3.426, yang luka 13.000 lebih. Dan lebih dari 30.000 tentara Jepang tewas, diantaranya 23.811 tercatat pasti. Nah supaya kita bisa lebih tahu lagi tentang hebatnya pertempuran ini, mari kita ikuti penuturan dari Robert Sherrod, seorang wartawan perang yang terkenal.


CATATAN ROBERT SHERROD

Meriam kapal perang dan bom pesawat terbang yang mendahului kedatangan kami tidak menolong banyak. Terlampau banyak gua-gua tempat Jepang bisa berlindung.
Meriam penangkis pesawat udara Jepang segera terasa. Sebuah pesawat Hellcat yang menghantam pantai, kena, terbakar sebentar, lalu jatuh di air, dan apinya segera padam, seperti juga nyawa penerbangnya.
Kita makin dekat ke pantai. Tapi banyak amtrac (truk amphibi) terbalik, kena tembakan meriam Jepang yang menembak dari pegunungan. Ada yang meledak, ada yang terbakar. Sungguh berlainan dengan perlawanan Jepang di Kwayalein.
Meriam dan terutama mortir Jepang yang digunakan secara pandai, menimbulkan korban besar di antara pasukan invasi, terutama dikalangan para perwira yang selalu maju ke depan, untuk memberi teladan kepada anak buahnya. Dia mati, segera diganti oleh second in command. Bila dia ini gugur, diganti oleh yang ketiga. Ada peleton yang akhirnya hanya dipimpin oleh sersan, bahkan kopral saja.
Kami mengirim kabar radio kepada komando pesawat terbang. Minta bantuan untuk mendiamkan mortir-mortir Jepang yang berbahaya sekali itu. Di tepi pantai mayat Jepang dan Amerika bercampur baur. Saya lihat seorang marinir Amerika, kakinya putus, akibat pecahan peluru mortir.
Ada batalyon (1000 orang) yang dalam waktu 10 jam berganti komando sampai empat kali, karena pemimpinnya mati berturut-turut. Semua ini karena hebatnya tembakan mortir Jepang yang posisinya sangat ideal. Mereka di pegunungan dan kami di bawahnya.
Kemajuan kami terhambat. Belum setengah dari rencana yang terlaksana. Sepanjang jalan penuh dengan mayat Amerika dan Jepang, yang karena panas terik matahari menjadi hitam, dan sukar membedakannya. Hanya dari topi baja (helm) mereka dapat diketahui mana serdadu Jepang, dan mana Amerika. Ketika malam tiba, saya dengan sekop yang diberikan kepada setiap pasukan invasi ketika meninggalkan kapal, menggali lubang sedalam kira-kira satu meter dan panjang dua meter, untuk berlindung. “ibu pertiwi” (Mother Earth) dalam hujan peluru mortir dan meriam adalah perlindungan sebaik-baiknya, kecuali bila peluru mortir meledak justru di lubang perlindungan itu…
Kapal perusak (destroyer) yang berlabuh di depan pantai, sepanjang malam tidak henti-hentinya menembakan star shells (peluru yang menyinarkan cahaya terang benderang) sehingga malam menjadi seperti siang. Maksudnya mencegah pihak Jepang mengadakan serangan pembalasan. Mortir terus-menerus menggangu ketenangan malam. Tapi akhirnya saya bisa juga tertidur sebentar, meskipun digigiti nyamuk.
Pada suatu malam Jepang dengan pedang terhunus mendadak menyerbu pertahanan kami. Jepang juga menggunakan kira-kira 100 tank, yang disambut dengan peluru meriam dari kapal perusak. Sungguh ajaib, tank di darat lawan meriam kapal perang di laut.
Bunyi roket yang dilepaskan dari pesawat terbang seperti bunyi raksasa merobek sehelai sutera di udara.
Pertahanan Jepang sungguh ulet. Gua dengan pintu baja yang digeser, menyimpan sebuah meriam di atas rel. pintu dibuka meriam didorong keluar dan memuntahkan peluru. Setelah itu meriam ditarik masuk kedalam gua lagi, dan pintu baja ditutup lagi. Sungguh cerdik.
Letjen Holland Smith dari USMC (US Marine Corps) di tengah-tengah pertempuran mengadakan konferensi pers untuk para wartawan. Kira-kira 2.500 penduduk sipil, Jepang dan Chamorro, penduduk asli, tertawan. Seorang penduduk Jepang berteriak,”kau mungkin bisa merebut sebagian dari pulau ini. Tapi awas! Di sana masih ada Tokyo!” ia menunjuk ke arah Tokyo.

ROBERT SHERROD THE WAR-CORESPONDENT
Robert Sherrod adalah seorang wartawan TIME. Dia adalah salah satu wartawan perang paling terkenal. Dia turut mendarat di Attu, ia juga ikut dalam gelombang pertama yang mendarat di Tarawa, begitu juga kemudian di Saipan, Iwo Jima dan Okinawa. Profesinya tidak bisa dianggap enteng. Peluru serdadu Jepang tidak membedakan tentara, marinir atau wartawan. Kans buat mati adalah sama bagi wartawan perang dan pasukan yang berperang, terutama di waktu mendarat. Berkat dia dan kawan-kawannya, rakyat Amerika bisa mengetahui perkembangan di medan perang.

Sumber: buku Perang Pasifik karya P.K Ojong

Posted by Reza Fajri on 11:57 AM. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

0 comment for Hebatnya Pertempuran Saipan

Leave comment

Recent Entries

Recent Comments

Photo Gallery